Kamis, 16 Agustus 2012

Sebuah Senja, @cahaya_sore

Sore yang tak biasa, aku duduk di kantor dengan segelas milo dingin di meja. Entahlah, tanpa alasan yang jelas, aku duduk terpaku memandang jendela.
Bukan pekerjaan yang aku tatap, bukan monitor atau berkas yang harusnya aku baca, bukan laporan keuangan yang harus diinput ke dalam folder anggaran, tapi hal lain.
Satu, dua, hingga lima menit aku terduduk, beku. Bukan kursi yang enak untuk aku duduki, kursi kayu tanpa busa, keras. Tapi aku masih sama, masih beku di tempat itu-itu juga.

Seharusnya aku mengerjakan semua pekerjaan sebagai manager keuangan dengan terburu-buru, deadline, ini akhir bulan February. Entah kenapa aku memilih membunuh waktu dalam diam.
Tak ada keindahan yang istimewa, jendela itu jendela yang sama yang aku tatap tadi pagi. Milo dingin di mejapun tak aku sentuh sedikitpun.
Lalu *klik* aku ambil sebuah foto. Aku lihat dengan baik, fotonya bagus. Iya fotoku.

Entahlah, foto ini terlalu bagus aku rasa.

---

Itu enam bulan yang lalu, kok.

Ada yang bilang hidup serupa film. Sementara film adalah lukisan cahaya. Kalau bisa mendapat cahaya yang bagus, logikanya, hidup kita akan menjadi indah.
Iyakan?

Dan orang bilang senja memiliki cahaya yang paling indah. Dan ya, aku jatuh cinta pada cahaya sore sore itu, enam bulan lalu.
Dan saat itu, ada yang aku pahami dengan baik. Cahaya sore akan tetap menawan tanpa aku, tapi aku tidak akan menawan tanpa dia.

 

Sejak enam bulan lalu, aku bawa kotak cahaya ke manapun aku pergi. Aku simpan di tempat aman, hati.

***

 


@cahaya_sore: Pada sepi yang kau sebut pagi,


ketahuilah nona @MahadewiShaleh kopimu selalu lebih manis dari serpihan mimpi-mimpi semalam.



@MahadewiShaleh: Tanpamu @cahaya_sore, hati hamparan salju, putih serupa maut.


Cairkan aku dengan segelas kopi, pun sepiring remah mimpi.


 

 

2 komentar:

Wanna say something?
The comment is yours